-
Bagi Jerman, sumber energi yang ideal tidak hanya rendah karbon, tetapi juga aman dan berkelanjutan secara politik dan lingkungan. Energi Nuklir, dengan risiko kecelakaan dan masalah limbahnya, dianggap tidak memenuhi kriteria tersebut.
Penghentian operasi tiga PLTN terakhir—yang hanya menyumbang sekitar 6% dari total listrik Jerman—menimbulkan tantangan besar yang harus dihadapi negara tersebut:
Untuk menstabilkan jaringan listrik saat produksi dari angin dan matahari sedang rendah (misalnya, saat mendung atau tidak berangin), Jerman harus mengandalkan sumber daya backup fleksibel. Sebagian besar kebutuhan backup ini sementara dipenuhi oleh gas alam dan, ironisnya, batu bara. Hal ini sempat dikritik karena dikhawatirkan menaikkan emisi CO2 dalam jangka pendek.
Meskipun tidak lagi memproduksi limbah baru, Jerman masih harus menyelesaikan masalah penempatan 27.000 meter kubik Limbah Radioaktif tingkat tinggi yang sudah ada. Proses pembongkaran reaktor dan pencarian lokasi penyimpanan akhir yang disepakati publik (ditargetkan rampung pada 2031) masih menjadi tugas berat yang dipenuhi tantangan teknis dan politis.
Meskipun pasokan listrik Jerman secara umum tetap stabil pasca-penutupan, perang di Ukraina dan krisis gas Rusia memaksa Jerman untuk sementara memperpanjang masa pakai reaktor hingga April 2023. Peristiwa ini menunjukkan bahwa mencapai target Energiewende membutuhkan investasi besar-besaran dan cepat dalam teknologi penyimpanan energi (baterai) dan peningkatan infrastruktur jaringan.
Kebijakan Phase-out PLTN Jerman adalah eksperimen energi yang monumental dan diamati seluruh dunia. Keputusan ini menunjukkan bahwa, dengan komitmen politik yang kuat dan dukungan publik, suatu negara besar dapat memilih untuk meninggalkan teknologi yang dianggap berisiko demi mencapai kemandirian energi yang lebih aman dan terbarukan, meskipun harus melalui jalan yang sulit dan penuh kontroversi.